Bergerak Bersama Pulihkan Jiwa: Universitas Negeri Malang Teguhkan Komitmen Kesehatan Mental Mahasiswa

Momentum Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025: Membangun Kesadaran dan Empati di Lingkungan Kampus

MALANG – Suasana reflektif menyelimuti Gedung B17 Universitas Negeri Malang (UM) pada Senin (13/10/2025). Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025, UM menggelar kegiatan Sharing Session bertajuk “Heal, Sharing Session Movement: Moving More for Our Mental Health — Bergerak Bersama Perkuat Kesehatan Mental.”

Acara ini menjadi momentum penting untuk meneguhkan komitmen civitas akademika UM dalam menumbuhkan kesadaran kolektif terhadap pentingnya kesehatan mental, terutama di tengah dinamika kehidupan akademik dan tekanan sosial yang semakin kompleks.

Mindfulness: Hadir di Saat Ini dengan Penuh Kesadaran

Acara dibuka dengan kutipan inspiratif dari Jon Kabat-Zinn, pelopor gerakan mindfulness dunia:

“Mindfulness means paying attention in a particular way: on purpose, in the present moment, and non-judgementally.”

Kutipan ini menggema sebagai pengingat bahwa menjaga kesehatan mental tidak cukup hanya dengan teori, tetapi perlu kesadaran penuh terhadap diri sendiri, lingkungan, dan setiap momen kehidupan.

Dalam konteks mahasiswa, mindfulness menjadi keterampilan penting untuk mengelola stres, tekanan akademik, dan dinamika emosional yang kerap dihadapi selama masa studi.

Dua Narasumber Ahli Kupas Pentingnya Ketahanan Mental

Sharing session ini menghadirkan dua narasumber berkompeten:

  • dr. Dennada Bagus Putra Perdana, Sp.KJ., M.H., Dosen Fakultas Kedokteran UM, dan
  • Dini Latifatun Nafi’ati, S.Psi., M.Psi., Psikolog Klinis dari RSSA Malang.

Dalam sambutannya, Dr. Hetti Rahmawati, S.Psi., M.Si., selaku perwakilan fakultas, menegaskan bahwa peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia bukan hanya seremoni tahunan, melainkan bagian dari gerakan nyata Universitas Negeri Malang dalam menciptakan lingkungan kampus yang sehat secara psikologis.

“Selain memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia, kami juga memperkenalkan kembali program peer counseling bagi mahasiswa sebagai bentuk kepedulian UM terhadap kesejahteraan mental mereka,” ujar Hetti.

Peer Counseling: Ruang Aman untuk Saling Mendukung

Program peer counseling menjadi salah satu sorotan utama dalam acara ini. Program ini menghadirkan ruang aman bagi mahasiswa untuk saling berbagi, mendengarkan, dan memberikan dukungan emosional tanpa rasa takut dihakimi.

Dengan pendekatan sebaya, mahasiswa diharapkan dapat lebih terbuka dan merasa nyaman membicarakan persoalan pribadi maupun akademik. Peer counselor bertugas sebagai teman pendamping yang mampu memberikan empati, bukan sekadar nasihat.

“Melalui peer counseling, kita ingin membangun budaya kampus yang ramah kesehatan mental — tempat di mana mahasiswa tidak merasa sendiri dalam menghadapi masalahnya,” tambah Hetti.

Program ini juga berfungsi sebagai jembatan untuk mendeteksi dini potensi gangguan mental dan menyalurkan mahasiswa kepada pihak profesional jika dibutuhkan.

Faktor Penyebab Gangguan Mental di Kalangan Mahasiswa

Dalam sesi pemaparan materi, dr. Dennada Bagus Putra Perdana menjelaskan bahwa gangguan mental tidak hanya disebabkan oleh faktor biologis atau genetik, tetapi juga berkaitan erat dengan tekanan sosial dan gaya hidup modern.

“Mahasiswa saat ini menghadapi tekanan akademik, kompetisi sosial, dan paparan media digital yang tinggi. Semua itu bisa memicu stres berkepanjangan dan gangguan kecemasan jika tidak dikelola dengan baik,” jelasnya.

Ia menambahkan, penting bagi setiap individu untuk mengenali tanda-tanda awal stres atau kelelahan mental, seperti kehilangan semangat, sulit tidur, dan perubahan emosi yang ekstrem.

“Pencegahan jauh lebih penting daripada penanganan. Kita perlu menumbuhkan kesadaran untuk meminta bantuan ketika merasa tidak baik-baik saja,” tambahnya.

Membangun Ketahanan Mental Melalui Mindfulness dan Gaya Hidup Sehat

Sementara itu, Dini Latifatun Nafi’ati, psikolog klinis dari RSSA Malang, mengajak peserta untuk mempraktikkan mindfulness sederhana selama sesi berlangsung. Peserta diajak menutup mata, menarik napas perlahan, dan fokus pada detik demi detik napas yang masuk dan keluar.

“Mindfulness membantu kita mengenali emosi tanpa menghakimi, menerima diri apa adanya, dan menemukan ketenangan di tengah hiruk pikuk kesibukan,” ujarnya.

Menurut Dini, membangun ketahanan mental tidak hanya melalui terapi atau konseling, tetapi juga dengan menjaga rutinitas hidup sehat, seperti tidur cukup, olahraga teratur, dan menjaga hubungan sosial yang positif.

Gerakan Kesehatan Mental di Kampus: Dari Refleksi Menuju Aksi

Kegiatan ini menjadi pengingat bahwa kesehatan mental bukan hanya isu personal, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh elemen kampus. Melalui gerakan “Moving More for Our Mental Health”, UM berkomitmen untuk terus menghadirkan kegiatan reflektif, edukatif, dan suportif bagi mahasiswa.

“Kami ingin menciptakan budaya kampus yang saling peduli. Di sini, tidak ada yang sendirian. Setiap mahasiswa berhak merasa aman, didengar, dan dihargai,” tutur dr. Dennada di akhir sesi.

Peserta pun diajak membuat komitmen pribadi berupa “janji kecil untuk diri sendiri” — misalnya meluangkan waktu untuk beristirahat, berbicara dengan teman, atau berlatih syukur setiap hari.

Penutup: Bergerak Bersama Pulihkan Jiwa

Melalui semangat Bergerak Bersama Pulihkan Jiwa, Universitas Negeri Malang mengajak seluruh civitas akademika untuk tidak hanya memahami, tetapi juga mengamalkan kesadaran kesehatan mental dalam keseharian.

Acara ditutup dengan sesi foto bersama dan penandatanganan komitmen “Kampus Ramah Kesehatan Mental”. Harapannya, inisiatif ini menjadi titik awal transformasi budaya kampus menuju lingkungan yang lebih peduli, empatik, dan harmonis.

 

 

Sumber: um.ac.id

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *